Label

Minggu, 18 Juli 2021

Dosen Pembimbing

Malam kemarin saya bermimpi bertemu dengan seorang dosen. Beliau adalah dosen pembimbing saya sewaktu kuliah di kampus UPI dulu. Mimpi mungkin bukanlah sebuah pertanda, tetapi mimpi mengingatkan kita pada sesuatu hal. 

Pagi harinya, saat terbangun, memori saya langsung teringat pada momen di suatu pagi yang telah lebih dari sepuluh tahun lalu:

Pagi itu, telepon genggam berbunyi, saya terbangun karena suaranya. Saya lihat sebuah nada panggilan dari dosen pembimbing saya. Saya angkat panggilannya, “Gin, kamu mau penelitian ke kelas menulis kan? Ayo sekarang! Ini saya lagi ada kelas mahasiswa tingkat satu. Sini ya!” kata beliau.

Saya langsung menyiapkan diri. Buku-buku dan lembar bahan penelitian saya masukkan ke dalam tas. Saya berangkat dengan bersemangat. 

Saat itu saya tengah menyusun skripsi tentang metode kolaborasi dalam sebuah kelas menulis.

Tiba di kelas, saya dipersilakan masuk dan duduk bersama mahasiswa di kursi barisan belakang. Di kelas itu, saya memperhatikan situasi belajar di kelas dan lalu membagikan semacam kuesioner untuk diisi oleh mahasiswa di kelas itu.

Singkat cerita, skripsi saya terselesaikan tak begitu lama. Alhamdulillah, saya pun lulus.

Sepuluh tahun berlalu, tahun kemarin, saya datang kembali ke kampus, ke kantor jurusan, ada perlu. Di sana tak ada siapa-siapa. Sepertinya dosen-dosen sedang mengajar di kelas. Saya lihat di ruang petugas administrasi juga tidak ada orang, dulu biasanya ada Pak Udin di sana.

Saya duduk di kursi tunggu yang ada di depan kantor jurusan, menunggu dan bersiap kepada siapa pun yang saya temui.

Tidak lama kemudian, datang seorang dosen. Dari kejauhan saya bisa mengenalinya. Ya, beliau adalah dosen pembimbing saya. Saya ragu kalau ia masih mengenali saya. Tetapi rupanya tidak. Ia memanggil saya. 

“Gin, apa kabar?” Saya menghampirinya. Saya dipersilakan masuk ke ruangan kerja beliau dan kami mengobrol sedikit tentang kabar.


Malam ini, beberapa menit yang lalu, saya membaca sebuah pesan di grup whatsapp berupa kabar duka. Kabar duka itu bercerita bahwa Monsieur Riswanda -dosen pembimbing saya- telah berpulang. 

Doa-doa kami terpanjat untuk beliau. Selamat jalan Monsieur, saya yakin bahwa kebaikan Bapak kepada saya menjadi salah satu amalan besar dari banyaknya ilmu yang terus mengalir kepada mahasiswa-mahasiswa yang Bapak bimbing. 

Terima kasih Monsieur, sampai jumpa kembali.  

Senin, 10 Februari 2020

Chillout Room Campus

Sebuah memoar di tanggal lima belas november tahun dua ribu tujuh. Pada sebuah kesempatan yang cukup mendadak, lumayan juga bisa berkesempatan meneriakkan bait lagu di depan khalayak umum. Meski sepi dan muram, antusiasme teman-teman yang hadir tetap terjaga.


Tak banyak lagu yang diungkapkan pada malam itu, hanya satu lagu saja. Maklum, grup yang ceritanya bernama North Benjamin ini baru terbentuk dua jam sebelum mikrofon itu dipegang.


Kelak, grup ini menjadi cikal bakal terbentuknya grup bernama CCS, yaitu sebuah grup kebanggaan para personilnya. Grup yang menjadi alasan kami reuni dengan teman sepermainan pada masa kuliah dekade yang lalu.

(mungkin bersambung)

Jumat, 27 Desember 2019

Thermometer

Pagi tadi, saya mendapat musibah. Kami baru bangun tidur. Saya masih rebahan di kasur. Di samping saya, anak saya sedang bermain thermometer. Kami bermain dokter-dokteran. 

Anak saya berumur tiga tahun. Awalnya ia selip-selipkan thermometernya ke ketiak saya. Namun saat pandangan saya lepas darinya, tiba-tiba tangan kecilnya iseng. Ujung thermometer itu masuk ke telinga saya. Saya kaget. Telinga saya kesakitan. Saya tak tahu harus bagaimana mengobatinya. Saya hanya mengaduh sakit dan sedikit cemas dan juga takut. 

Dengan berbekal kartu BPJS, saya pergi ke klinik tempat biasa saya berobat. Dokter di klinik tersebut menanyakan kronologis kejadiannya sebelum akhirnya memeriksa telinga saya. 

Sebuah senter kecil ditodongkan ke dalam telinga saya dan sang dokter pun mulai mengintip. Ia berkata, ada darah di dalam telinga saya. Kemungkinan ada luka pada bagian dalam telinga. 

Namun sang dokter tidak bisa mengambil tindakan lebih jauh. Mungkin karena ia seorang dokter umum dengan peralatan yang terbatas. Ia menyarankan agar saya pergi menemui dokter THT. Ia membekali saya surat rujukan yang ditujukan ke dokter THT di rumah sakit. 

Sang dokter menyebutkan beberapa pilihan rumah sakit yang bisa dituju. Dokter itu membebaskan saya untuk memilih rumah sakit mana yang dituju. Saya memilih rumah sakit yang terdekat dari klinik itu. Rumah Sakit Santo Yusup. 

Sementara surat rujukan itu dibuatkan oleh petugas klinik, saya menunggu di kursi tunggu. Tak lama kemudian istri saya datang. Sebelumnya memang ia sudah me-whatsapp saya kalau dia mau datang. Ia mau mengantar saya ke rumah sakit. 

Setelah tiba di RS Santo Yusup, di parkiran motor ada seorang ibu yang memberi tahu kalau dokternya tidak ada, libur natal katanya. Betul memang, RS Santo Yusup adalah sebuah rumah sakit yang berlatar belakang Kristen. Namun kami tetap melanjutkan langkah kaki menuju pintu masuk rumah sakit untuk memastikan keadaan yang sesungguhnya. 

Di depan pintu masuk kami menemui meja kecil security. Security itu menginformasikan bahwa semua dokter sedang libur Natal. Buka lagi lusa. Hari ini adalah H-1 sebelum Hari Natal dan merupakan hari libur cuti bersama.

Kami tak patah semangat. Lalu kami balik lagi ke klinik meminta surat rujukan pengganti RS tujuan. Kami menginginkan rumah sakit yang lain. Kemudian kami mencoba ke sebuah rumah sakit yang ada di Jl. Pasteur. Jalan menuju rumah sakit Pasteur melewati tempat tinggal kami di daerah Jl. Suci. Kami bisa mampir dulu ke rumah untuk sarapan dan persiapan lainnya. 

Setelah surat pengantar rujukan dan dokumen-dokumen lainnya telah siap, kami langsung tancap gas menuju Pasteur. Di rumah sakit ini kami langsung menemui security di bagian pintu depan rumah sakit. Ia menginformasikan bahwa ada dokter yang bertugas namun security itu tidak mengetahui ada atau tidaknya dokter tesebut. Untuk memastikannya kami diarahkan agar menuju bagian pendaftaran pasien BPJS di lantai 2. 

Sesampainya di lantai 2, kami menemui security yang bertugas di bagian pendaftaran itu. Ia duduk di dekat mesin nomor antrian. Sesuai arahan security itu, saya mengambil nomor antrian dan mengisi formulir pasien. Setelah kurang lebih menunggu 10 nomor antrian, saya dipanggil petugas pendaftaran. Saya menceritakan kronologis kejadian dan keluhan saya. Petugas itu menyampaikan bahwa dokter THT pada saat ini sedang libur dan akan membuka kembali praktek pada hari senin (saat ini hari selasa). 

Merasa akan cukup lama menunggu sampai hampir seminggu, kami balik lagi ke klinik awal saya berobat dan meminta tujuan rumah sakit yang lain lagi. Awalnya petugas di klinik itu sempat menolak karena sudah dua kali permohonan perubahan surat rujukan. Tetapi ia mengurungkan penolakannya, mungkin ia merasa iba. Saya hanya berpikir, ya siapa tahu masih ada dokter THT lain yang hari ini bertugas di rumah sakitnya. 

Selanjutnya kami memilih sebuah rumah sakit di daerah Arcamanik. Setelah memasuki halaman rumah sakit ini saya langsung menuju basement untuk memarkirkan sepeda motor. Kami melewati sebuah tempat seperti ruang tunggu dengan dinding setengah terbuka. Ruang tunggu antrian. Di situ banyak orang-orang duduk di kursi. 

Setelah memarkirkan motor kami berjalan kaki menuju tangga ke atas untuk menuju bagian resepsionis. Namun belum sampai di tangga, kami penasaran dengan ruang tunggu setengah terbuka yang tadi dilewati itu. Kami menghampiri tempat antrian atau ruang tunggu itu. Posisi ruang tunggu itu berdekatan dengan area parkir, yakni di basement bagian depan. 

Di bagian antrian ruang tunggu ini, kami tidak melihat keberadaan security. Namun di situ kami melihat mesin tombol antrian dan meja berisi lembar formulir. Berdasarkan pengalaman sebelumnya di rumah sakit Pasteur, kami berinisiatif sendiri untuk mengambil kartu antrian dan mengisi formulir pendaftaran. Antrian yang didapat kurang lebih menunggu 10 nomor lagi. Sama seperti banyaknya nomor antrian di rumah sakit Pasteur. 

Setelah beberapa waktu berlalu nampak seorang security datang mendekati meja formulir namun tak sampai satu menit ia pergi lagi. Rupanya security itu bertugas satu lantai di atas. Atau entah ia bertugas di ruang tunggu ini juga, kami tidak tahu. Istri saya sempat bertanya ke security tersebut kalau mau ke dokter THT mengambil antrian apa, katanya ambil antrian “pasien baru”. Lalu kami menekan tombol kartu antrian “pasien baru”. Di situ, insiatif awal kami yang mengambil antrian “konsultasi dokter” ternyata salah. 

Kami tetap duduk di kursi tunggu yang tersedia. Kursi di ruang tunggu itu hampir terisi semua oleh pasien-pasien yang sedang menunggu panggilan. Dengan berbekal pengamatan sekitar, kami bisa tahu posisi ruangan petugas bagian pendaftaran yakni berada di seberang jalan. Jalan arah keluarnya kendaraan dari basement itu. 

Setelah nomor antrian saya terdengar di pengeras suara, kami menuju ruangan di seberang jalan itu. Di ruangan itu, seperti sebelumnya, saya menceritakan kronologisnya. Petugas kemudian berkata bahwa dokter THT sedang cuti dan masuk lagi hari kamis (lusa). Lalu saya menanyakan apakah bisa dilakukan tindakan sementara untuk pemeriksaan telinga saya.  Maksudnya agar ada sebuah hasil karena sudah menunggu antrian yang lumayan lama. Saya ingin mengetahui separah apa atau seperti apa luka telinga yang saya alami ini. 

Sang petugas berkata bahwa pemeriksaan tidak bisa dilakukan karena dokter yang bertugas tidak hadir. Kemudian saya bertanya bagaimana jika dengan penanganan IGD? Petugas itu menjawab bahwa IGD itu untuk menangani pasien yang kritis dan mendesak saja dan jika nanti hasil pemeriksaan di IGD tidak masuk kategori mendesak maka nanti pasien akan diarahkan lagi ke bagian poli atau dokter THT dan akhirnya balik lagi (ke tempat pendaftaran itu). 

Kami penasaran dan mencoba untuk mendatangi bagian IGD di satu lantai di atas. Di bagian security kami bertanya dan ia mengarahkan agar mengambil nomor antrian. Namun tak menunggu lama nomor antrian saya dipanggil dan kami langsung masuk ke ruang IGD. Di ruang ini kami menceritakan maksud kedatangan kami dengan segala keluhannya, namun respon yang didapat tidak begitu menggairahkan. 

Petugas di ruang IGD itu memberitahu agar saya melakukan pendaftaran IGD terlebih dahulu di bagian pendaftaran IGD. Petugas IGD itu pun mengungkapkan bahwa nanti setelah melakukan pendaftaran agar menunggu dulu bed yang kosong karena pada saat itu bed di IGD telah penuh. Selain itu, ia mengungkapkan kalau pemeriksaan pun kemungkinan akan dilakukan seadanya saja karena peralatan yang ada untuk THT tidak lengkap. 

Mendengar penjelasan petugas IGD tadi membuat kami sedikit lesu. Maka kami pun tidak melakukan pendaftaran IGD seperti yang disarankan petugas tadi. Kami langsung menuju rumah sakit di Ujungberung. Rumah sakit milik pemerintah yang mungkin bisa membantu. Kami pikir itu adalah usaha terakhir untuk penanganan luka telinga saya ini. 

Kami langsung menuju rumah sakit Ujungberung. Sesampainya di rumah sakit ini kami langsung menemui security dan ia berkata bahwa dokter THT sedang libur cuti bersama dan masuk lagi hari kamis (lusa). Lalu kami menanyakan pelayanan di IGD itu seperti apa, apakah bisa memberi penanganan atau tidak. Sang security itu tidak begitu yakin dan ia mengarahkan kami untuk langsung menuju ruang IGD. 

Di ruang IGD, terlihat petugas yang duduk di sana dengan seorang perawat. Mereka langsung menanyakan keluhan saya dan memeriksa telinga saya dengan peralatan yang ada. Petugas IGD itu berkata bahwa terdapat luka di dalam telinga saya dan memerlukan penanganan dokter THT. Menurutnya, di IGD ini tidak ada peralatan lengkap seperti yang ada pada dokter THT. Di bagian IGD hanya untuk penanganan yang mendesak. Seperti luka pada telinga yang mengeluarkan darah terus menerus dengan tingkatan luka yang mungkin lebih parah. 

Ia menyarankan agar saat ini saya diistirahatkan saja dan datang lagi pada hari kamis untuk menemui dokter THT. Setelah mendapat  pemeriksaan dan penjelasan dari petugas atau dokter di IGD tersebut kami merasa cukup lega meski luka belum dapat terobati. Akhirnya kami pulang. 

Berdasarkan pengalaman menemui petugas kesehatan di beberapa rumah sakit dari pagi hingga siang tadi, saya menyimpulkan bahwa prosedur semua rumah sakit itu sama, yang membedakan adalah bentuk pelayanan dari petugas rumah sakitnya. Pelayanan berupa cara penyampaian informasi dan cara menghadapi atau menangani pasien yang datang kepadanya. 

Menurut saya, petugas kesehatan itu, jika memang tidak bisa membantu mengobati, setidaknya mereka bisa memberikan rasa tenang dengan keramahan dan kepeduliannya terhadap pasien, seberapa pun ia letih karena telah beberapa jam bertugas. Tetapi saya tetap berterima kasih kepada mereka dari mulai petugas di klinik, rumah sakit hingga security yang bertugas menerima dan membantu perjalanan siang tadi. 

Untuk teman-teman dan juga keluarga saya, jika suatu waktu kita berpapasan di jalan dan saya tidak menoleh kala dipanggil, mungkin itu karena telinga kanan saya sedang tidak berfungsi dengan baik. Mudah-mudahan besok atau lusa masih ada kesempatan agar telinga kanan ini bisa sembuh lagi. Amin.

Sekian. 

Bandung, 24 Desember 2019.


Minggu, 24 Februari 2019

Motor Pertama

Selama saya kuliah, sekitar tahun 2004 s.d 2009, saya tidak punya motor dan memang pada saat itu saya tidak begitu terpikirkan untuk punya motor. Beberapa teman yang rumahnya di Bandung di antaranya ada yang punya motor. Mereka memakai sepeda motor untuk menghindari terlambat masuk jam kuliah dan juga untuk sekedar menghemat uang saku. Sementara itu, bagi saya yang tinggal di area kampus merasa belum begitu membutuhkan kehadiran sepeda motor di keseharian saya.

Setelah selesai masa kuliah, tahun 2010 awal saya bekerja di kota Cirebon. Pada saat itu mulai terbersit dalam hati untuk mempunyai sebuah sepeda motor. Tidak usah motor yang bagus atau mahal, yang penting bisa jalan dan tampilannya oke. Kawan saya di kampung yang pada saat itu sudah merantau ke kota Tanggerang telah lebih dulu membeli sepeda motor, sebuah sepeda motor keluaran tahun 70 an, Honda CB 100. Saya jadi terpacu, tersemangati dan terpengaruhi pada sepeda motor yang agak jadul tersebut. Saya pikir sepertinya asyik juga mengendarai sepeda motor CB 100 itu, namun saya belum lancar dengan sepeda motor berkopling tangan seperti pada motor CB 100.

Suatu hari, saya sedang nongkrong di depan tempat kerja di sebuah jendela memandang keluar ke jalan, melintas seorang pengendara sepeda motor dengan sepeda motor model cafe racer, warnanya biru dan nampak mulus, yang kemudian saya ketahui bahwa itu adalah motor Honda 90Z atau orang menyebutnya Honda Siki Nangka. Beberapa waktu setelah itu saya sempat ditawari oleh seorang kawan kuliah dulu, melalui chat di facebook ia memberi tahu bahwa ada yang mau menjual sepeda motor Honda 90Z-nya dengan harga dua juta, kondisi sehat dan body lumayan rapih. Namun karena saat itu saya belum punya tabungan dan berbagai kendala lainnya, saya pun belum bisa berjodoh untuk memilikinya. Sejak itu, saya bertekad lebih kuat lagi bahwa nanti kalau sudah punya uang dan siap membeli sepeda motor saya akan membeli Honda 90Z atau Honda CB100.

Sedikit demi sedikit saya mulai belajar melancarkan untuk mengendarai sepeda motor "cowok" yang ada kopling di tangan kirinya. Dengan bantuan salah seorang teman kerja, saya mencoba berkeliling mengendarai motor Honda Tiger menyusuri jalanan komplek Pegambiran Residen, sebuah komplek perumahan tempat saya bekerja pada saat itu.

Tahun 2010 berlalu, menginjak tahun 2011 saya bergerak ke kota Bandung. Saya mulai bekerja di sebuah kantor yang terletak di daerah Ujungberung. Pada bulan pertama kerja di tempat itu, saya langsung mencari informasi dan memantau iklan-iklan di internet barangkali ada yang menjual sepeda motor idaman saya, motor Honda CB100 atau Honda 90Z.

Setelah beberapa hari, saya menemukan sebuah postingan di Facebook yang menjual sepeda motor Honda CB100, harganya lumayan murah, namun kondisinya terlihat memprihatinkan. Saya merasa terpanggil untuk menyambanginya. Gaji pertama saya telah di tangan, tetapi masih belum cukup untuk membeli motor yang ada di iklan itu. Saya menyadari bahwa mimpi saya untuk memiliki sepeda motor belum sejalan dengan keadaan tabungan yang masih kosong.

Pikiran saya terus tertuju pada iklan sepeda motor CB100 itu hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba menghubungi nomor telepon yang tertera. Nada panggil tersambung dan tak lama kemudian terdengar sapa si penjual. Saya jelaskan bahwa saya berminat dengan sepeda motor yang diiklankan itu tetapi uang saya baru ada setengahnya. Mungkin terdengar ngeselin ya, ingin beli tetapi amunisi belum siap. Percakapan berlangsung lumayan panjang dengan dibumbui keluh kesah kehidupan. Menjelang akhir obrolan, si penjual memberikan kesempatan bahwa sepeda motornya boleh langsung dibawa pulang oleh saya tetapi tidak dengan BPKB-nya. Uang pembayarannya boleh sebagian dulu, nanti bulan berikutnya BPKB baru saya dapatkan setelah saya melunasinya. Tak pikir panjang lagi, saya pun menyetujuinya dan membuat janji kalau nanti malam saya menuju lokasi sepeda motor itu berada.

Ditemani Budi, seorang pebengkel motor di seberang jalan tempat kerja saya, kami berangkat ke lokasi. Saya meminta bantuan Budi karena saya pikir dengan pengetahuannya yang luas pada sepeda motor saya harap ia bisa memberi masukan soal sepeda motor yang akan saya beli ini apakah mesinnya bagus atau tidak. Saya tidak mau banyak PR setelah membelinya walaupun memang motor yang termasuk kategori tua ini beresiko dengan kendala seperti mogok dan part-partnya yang mungkin banyak yang harus diperbaiki atau diganti.

Setiba di lokasi saya melihat kondisi sang CB100 si motor idaman tengah bersandar. Sepeda motor ini tidak punya standar, ia hanya disandarkan pada sebuah tiang di teras rumah. Sekilas gaya tampilan sepeda motor ini terlihat sangar. Majalah-majalah motor saat itu menyebut tampilan motor dengan gaya seperti itu adalah gaya japstyle. Tetapi kalau menurut saya sih mungkin ini japstyle yang belum jadi, karena beberapa bagian terlihat kurang oke dan perlu dibenahi. Saya pribadi sebetulnya lebih suka dengan penampilan sepeda motor apa adanya sesuai keadaan keluar pabriknya. Mungkin itulah PR saya kedepannya untuk merubah sedikit demi sedikit penampilan sepeda motor ini. Saat hendak pulang, saya masih ragu apakah bisa mengendarainya atau tidak. Ketika sepeda motor diselah, kick starter terasa berat, kata Budi itu menandakan bahwa kompresinya bagus, memungkinkan tenaga motor ini bisa berlari kencang atau kuat. Saya mencobanya beberapa kali hingga akhirnya kaki saya lemas dan menyerah. Saya serahkan ke Budi untuk mengendarainya sampai ke tempat kerja saya.

Oya, saat itu saya biasa nongkrong di kantor tempat saya kerja. Selepas jam kerja, saya ngobrol-ngobrol dan ngopi dulu dengan orang-orang sekitar sampai sebelum ngantuk lalu pulang. Di situlah saya mengenal Budi, ia membuka bengkel motor di seberang kantor saya. Kini bengkelnya sudah tidak ada, bangunannya berganti jadi garasi toko pakaian. Budi sekarang pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik sparepart pesawat terbang.

Jumat, 05 Oktober 2018

Kabel CDI

Vespaku baru ganti jadi CDI. Pake CDI RX King, ga tau normal atau nngga, belum dicoba jarak jauh lagi. Tapi sekarang doi lagi susah hidup juga sih, belum ditelusuri lagi kenapa-kenapanya, padahal udah ganti busi baru, hmm. Besok-besok dicek lagi aja deh :D

Senin, 10 April 2017

tentang foto di cover blog ini



Pada tahun 2010 lalu, aku datang ke kota Cirebon dengan maksud untuk bekerja di kota itu. Sebuah pengalaman menarik selepas lulus kuliah. Berbekal sebuah amanat kepercayaan dari sepupu ayah yang mengajakku untuk ikut bekerja dengannya. Aku merasa terpanggil. Aku tak mau melewatkan kesempatan itu.

Untuk berangkat ke Cirebon, dari Bandung biasanya aku naik bis yang berangkat dari terminal Cicaheum. Bis Sahabat jurusan Bandung-Cirebon atau bis Goodwill jurusan Bandung-Tegal. Hari itu, aku naik bis pada jam 9 malam. Ngetemnya cukup lama, hingga jam 11 bis baru berjalan dengan roda memutar pelan-pelan. Baru setelah melewati Cibiru, bis itu seolah-olah menemukan jati dirinya sebagai bis cepat.

Penumpangnya tidak begitu penuh, dalam satu baris jok isi tiga, aku duduk sendiri. Tidak ada pemandangan hingar bingar di luar jendala, hanya nampak rumah-rumah yang terlelap. Perjalanannya cukup panjang, bisa menghabiskan berlembar-lembar mimpi jika aku tertidur pulas selama perjalanan. Selain itu, perlu melewati kota Sumedang, Kadipaten dan Majalengka untuk sampai di kota Cirebon. Aku tertidur.

Di tengah mimpiku yang tidak begitu jelas, sang kondektur meneriakan "Kedawung kedawung!", mengisyaratkan bahwa waktunya aku turun dari bis sudah dekat, yakni pada perempatan selanjutnya. Aku terbangun dan bersiap. Lalu sampailah di sebuah perempatan, perempatan Kanggraksan. Aku turun di perempatan itu. Sementara itu, bis melaju kembali hingga terminal Harjamukti Cirebon yang tak jauh lagi. Setelah turun dari bis aku langsung naik becak.

Sebetulnya, jika aku sampai di Cirebon siang hari, aku bisa naik angkot yang mengarah ke jalan Pegambiran. Akan tetapi, dikarenakan aku sampai di Cirebon pada dini hari, angkot sudah tak ada, giliran tukang becak yang menawarkan jasanya. Meskipun begitu, aku suka naik becak. Seperti sihir, hanya dengan duduk melamun badan ini bergerak dengan tanpa diiringi dentuman suara mesin. Udara dingin pagi kota Cirebon pun menerjang wajah yang berkeringat namun dingin. Aku mulai ngantuk lagi. Waktu sudah dini hari sekitar jam tiga pagi. 

Setelah turun dari becak, aku berjalan kaki sedikit melalui jembatan, masuk ke gerbang jalan sebuah perumahan. Perumahan di mana tempatku bekerja sekaligus tempat tinggal. Perumahan itu bernama Pegambiran Residen. Saat aku memasuki gerbang cluster dengan tenang, seorang security perumahan yang tidak mengenaliku berjalan membuntuti sampai aku masuk rumah. Aku tahu maksudnya, untuk hal keamanan.

Di dalam rumah biasanya ada Mas Aim yang belum tidur, itu pun kalau ia tahu aku mau datang. Sebelum tidur, sambil ngobrol-ngobrol sederhana di kamar, di dekat jendela yang terbuka, kami menyalakan rokok sebatang sebagai ritual kecil untuk merayakan pertemuan pada penghujung malam itu.

Kamar kami berada di lantai dua bagian depan. Sebuah kamar yang tidak berpintu namun mempunyai sebuah jendela cukup besar di bagian depan. Hampir setiap malam kami biarkan jendela terbuka, kecuali jika sedang turun hujan kami menutupnya. Maklum, udara di Cirebon pada saat itu terasa hangat. Di kamar kami, selimut tidak begitu laris.

Pagi hari, sedikit kesiangan, cuaca cerah. Perlahan-lahan aku membuka mata dan melihat ke arah jendela. Hembusan angin meniupkan daun dan ranting pohon yang berderet di tepi jalan. Daunnya berjatuhan di halaman dan ada beberapa yang masuk ke kamar. Sayangnya, cahaya matahari tidak masuk ke jendela kamar karena jendela kamar kami membelakangi arah matahari yang muncul. Aku mengambil kamera di atas meja dan mengambil foto jendela itu, sebagai dokumentasi bahwa aku pernah di situ. Hehehe.

Selasa, 13 Januari 2015

Madu di tangan kananmu, Jam Tangan di tangan kirimu.



Dulu, sekitar kelas 1 atau kelas 2 SD, ayahku memberiku sebuah jam tangan. Jam tangan dengan tampilan angka digital. Pada jam itu, ada bagian kepala-tangan-kakinya kalau dibuka lipatannya. Semacam transformer gitu kalau di film, bisa berubah menjadi robot-robotan. 

Aku langsung memakaikan jam tanganku itu di tangan kanan. Meski ayahku sempat menyarankan kalau memakai jam tangan itu di tangan kiri, tetapi aku tetap memakainya di tangan kanan. Aku ingin beda. Berbeda dengan teman-temanku dan orang lain pada waktu itu di daerahku yang lazimnya memakai jam tangan di pergelangan tangan kiri. Dengan begitu, aku merasa keren karena lain dengan yang lain. Hehehe. Karena waktu itu aku masih kecil, mungkin aku memakai jam tangan bukan untuk kebutuhan melihat waktu jam berapa, tetapi lebih ke hal suka-sukaan.

Masa sekolah dasar telah terlewati, hingga aku sampai di bangku SMP, aku masih memakai jam tangan di tangan kanan. Pada masa ini, aku tidak memerhatikan kekerenan memakai jam tangan harus di tangan kanan atau tangan kiri, tetapi karena aku sudah terbiasa di tangan kanan, jadi aku masih memakai jam tangan di tangan kanan. 

Pagi hari, di kamarku, sebelum berangkat ke sekolah, aku selalu mendengarkan ceramah KH. Zainuddin MZ yang diputar di radio Kharisma FM (kalau gak salah sih itu nama stasiun radionya, yang pemancar radionya itu di Ciater). Di tengah ceramahnya, Dai Sejuta Umat itu kira-kira berkisah begini: 

“Hei Tangan Kanan, kamu enak ya, kamu itu bagian megang apa-apa yang bagus-bagus, buat makan, ngasih barang ke orang, yang enak-enak semua sama kamu. Giliran cebok sehabis buang hajat, bagianku. Sungguh tidak adil!” Keluh Tangan Kiri.
“Tenang saja, nanti kalau majikan kita punya jam tangan, ia akan memakaikannya di kamu, wahai Tangan Kiri.” Jawab Tangan Kanan.

Semenjak aku mendengar kisah KH. Zainuddin MZ tentang jam tangan itu aku langsung memakai jam tangan di tangan kiri. Aku berangkat ke sekolah dengan sensasi baru di tangan kiriku. 

Maaf ya tangan kiri, mungkin semasa aku SD, kamu sedih. Kini aku pakaikan jam tangan di kamu. Ya meskipun jam tangan yang murah, tetapi kamu bisa ngasih tau aku kalau sekarang jam berapa. Hehehe..