Selama saya kuliah, sekitar tahun 2004 s.d 2009, saya tidak punya motor dan memang pada saat itu saya tidak begitu terpikirkan untuk punya motor. Beberapa teman yang rumahnya di Bandung di antaranya ada yang punya motor. Mereka memakai sepeda motor untuk menghindari terlambat masuk jam kuliah dan juga untuk sekedar menghemat uang saku. Sementara itu, bagi saya yang tinggal di area kampus merasa belum begitu membutuhkan kehadiran sepeda motor di keseharian saya.
Setelah selesai masa kuliah, tahun 2010 awal saya bekerja di kota Cirebon. Pada saat itu mulai terbersit dalam hati untuk mempunyai sebuah sepeda motor. Tidak usah motor yang bagus atau mahal, yang penting bisa jalan dan tampilannya oke. Kawan saya di kampung yang pada saat itu sudah merantau ke kota Tanggerang telah lebih dulu membeli sepeda motor, sebuah sepeda motor keluaran tahun 70 an, Honda CB 100. Saya jadi terpacu, tersemangati dan terpengaruhi pada sepeda motor yang agak jadul tersebut. Saya pikir sepertinya asyik juga mengendarai sepeda motor CB 100 itu, namun saya belum lancar dengan sepeda motor berkopling tangan seperti pada motor CB 100.
Suatu hari, saya sedang nongkrong di depan tempat kerja di sebuah jendela memandang keluar ke jalan, melintas seorang pengendara sepeda motor dengan sepeda motor model cafe racer, warnanya biru dan nampak mulus, yang kemudian saya ketahui bahwa itu adalah motor Honda 90Z atau orang menyebutnya Honda Siki Nangka. Beberapa waktu setelah itu saya sempat ditawari oleh seorang kawan kuliah dulu, melalui chat di facebook ia memberi tahu bahwa ada yang mau menjual sepeda motor Honda 90Z-nya dengan harga dua juta, kondisi sehat dan body lumayan rapih. Namun karena saat itu saya belum punya tabungan dan berbagai kendala lainnya, saya pun belum bisa berjodoh untuk memilikinya. Sejak itu, saya bertekad lebih kuat lagi bahwa nanti kalau sudah punya uang dan siap membeli sepeda motor saya akan membeli Honda 90Z atau Honda CB100.
Sedikit demi sedikit saya mulai belajar melancarkan untuk mengendarai sepeda motor "cowok" yang ada kopling di tangan kirinya. Dengan bantuan salah seorang teman kerja, saya mencoba berkeliling mengendarai motor Honda Tiger menyusuri jalanan komplek Pegambiran Residen, sebuah komplek perumahan tempat saya bekerja pada saat itu.
Tahun 2010 berlalu, menginjak tahun 2011 saya bergerak ke kota Bandung. Saya mulai bekerja di sebuah kantor yang terletak di daerah Ujungberung. Pada bulan pertama kerja di tempat itu, saya langsung mencari informasi dan memantau iklan-iklan di internet barangkali ada yang menjual sepeda motor idaman saya, motor Honda CB100 atau Honda 90Z.
Setelah beberapa hari, saya menemukan sebuah postingan di Facebook yang menjual sepeda motor Honda CB100, harganya lumayan murah, namun kondisinya terlihat memprihatinkan. Saya merasa terpanggil untuk menyambanginya. Gaji pertama saya telah di tangan, tetapi masih belum cukup untuk membeli motor yang ada di iklan itu. Saya menyadari bahwa mimpi saya untuk memiliki sepeda motor belum sejalan dengan keadaan tabungan yang masih kosong.
Pikiran saya terus tertuju pada iklan sepeda motor CB100 itu hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba menghubungi nomor telepon yang tertera. Nada panggil tersambung dan tak lama kemudian terdengar sapa si penjual. Saya jelaskan bahwa saya berminat dengan sepeda motor yang diiklankan itu tetapi uang saya baru ada setengahnya. Mungkin terdengar ngeselin ya, ingin beli tetapi amunisi belum siap. Percakapan berlangsung lumayan panjang dengan dibumbui keluh kesah kehidupan. Menjelang akhir obrolan, si penjual memberikan kesempatan bahwa sepeda motornya boleh langsung dibawa pulang oleh saya tetapi tidak dengan BPKB-nya. Uang pembayarannya boleh sebagian dulu, nanti bulan berikutnya BPKB baru saya dapatkan setelah saya melunasinya. Tak pikir panjang lagi, saya pun menyetujuinya dan membuat janji kalau nanti malam saya menuju lokasi sepeda motor itu berada.
Ditemani Budi, seorang pebengkel motor di seberang jalan tempat kerja saya, kami berangkat ke lokasi. Saya meminta bantuan Budi karena saya pikir dengan pengetahuannya yang luas pada sepeda motor saya harap ia bisa memberi masukan soal sepeda motor yang akan saya beli ini apakah mesinnya bagus atau tidak. Saya tidak mau banyak PR setelah membelinya walaupun memang motor yang termasuk kategori tua ini beresiko dengan kendala seperti mogok dan part-partnya yang mungkin banyak yang harus diperbaiki atau diganti.
Setiba di lokasi saya melihat kondisi sang CB100 si motor idaman tengah bersandar. Sepeda motor ini tidak punya standar, ia hanya disandarkan pada sebuah tiang di teras rumah. Sekilas gaya tampilan sepeda motor ini terlihat sangar. Majalah-majalah motor saat itu menyebut tampilan motor dengan gaya seperti itu adalah gaya japstyle. Tetapi kalau menurut saya sih mungkin ini japstyle yang belum jadi, karena beberapa bagian terlihat kurang oke dan perlu dibenahi. Saya pribadi sebetulnya lebih suka dengan penampilan sepeda motor apa adanya sesuai keadaan keluar pabriknya. Mungkin itulah PR saya kedepannya untuk merubah sedikit demi sedikit penampilan sepeda motor ini. Saat hendak pulang, saya masih ragu apakah bisa mengendarainya atau tidak. Ketika sepeda motor diselah, kick starter terasa berat, kata Budi itu menandakan bahwa kompresinya bagus, memungkinkan tenaga motor ini bisa berlari kencang atau kuat. Saya mencobanya beberapa kali hingga akhirnya kaki saya lemas dan menyerah. Saya serahkan ke Budi untuk mengendarainya sampai ke tempat kerja saya.
Oya, saat itu saya biasa nongkrong di kantor tempat saya kerja. Selepas jam kerja, saya ngobrol-ngobrol dan ngopi dulu dengan orang-orang sekitar sampai sebelum ngantuk lalu pulang. Di situlah saya mengenal Budi, ia membuka bengkel motor di seberang kantor saya. Kini bengkelnya sudah tidak ada, bangunannya berganti jadi garasi toko pakaian. Budi sekarang pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik sparepart pesawat terbang.